Kamis, 03 September 2009

Surat Cinta

Rumpun Alang-alang

Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang

Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang

Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal

Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal

Gelap dan bergoyang ia

dan ia pun berbunga dosa

Engkau tetap yang punya

tapi alang-alang tumbuh di dada

Makna sebuah titipan

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,

bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,

bahwa mobilku hanya titipan Nya,

bahwa rumahku hanya titipan Nya,

bahwa hartaku hanya titipan Nya,

bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?

Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah

kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,

kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,

aku ingin lebih banyak harta,

ingin lebih banyak mobil,

lebih banyak rumah,

lebih banyak popularitas,

dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,

Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :

aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan

Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...

"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"

SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja

Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan

Amarah merajalela tanpa alamat

Kelakuan muncul dari sampah kehidupan

Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!

O, malam kelam pikiran insan!

Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan

Kitab undang-undang tergeletak di selokan

Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!

O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!

Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa

Allah selalu mengingatkan

bahwa hukum harus lebih tinggi

dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

Berhentilah mencari Ratu Adil!

Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil

Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara

menjadi saksi yang akan berkata:

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan

maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!

Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!

Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?

Apakah masih akan menipu diri sendiri?

Apabila saran akal sehat kamu remehkan

berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap

yang akan muncul dari sudut-sudut gelap

telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi

Airmata mengalir dari sajakku ini.

======

Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan

dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998

SAJAK SEBATANG LISONG

menghisap sebatang lisong

melihat Indonesia Raya

mendengar 130 juta rakyat

dan di langit

dua tiga cukung mengangkang

berak di atas kepala mereka

matahari terbit

fajar tiba

dan aku melihat delapan juta kanak - kanak

tanpa pendidikan

aku bertanya

tetapi pertanyaan - pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet

dan papantulis - papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak

menghadapi satu jalan panjang

tanpa pilihan

tanpa pepohonan

tanpa dangau persinggahan

tanpa ada bayangan ujungnya

????????..

menghisap udara

yang disemprot deodorant

aku melihat sarjana - sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiunan

dan di langit

para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas

bahwa bangsa mesti dibangun

mesti di up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung - gunung menjulang

langit pesta warna di dalam senjakala

dan aku melihat

protes - protes yang terpendam

terhimpit di bawah tilam

aku bertanya

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair - penyair salon

yang bersajak tentang anggur dan rembulan

sementara ketidak adilan terjadi disampingnya

dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan

termangu - mangu di kaki dewi kesenian

bunga - bunga bangsa tahun depan

berkunang - kunang pandang matanya

di bawah iklan berlampu neon

berjuta - juta harapan ibu dan bapak

menjadi gemalau suara yang kacau

menjadi karang di bawah muka samodra

???????????

kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing

diktat - diktat hanya boleh memberi metode

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan

kita mesti keluar ke jalan raya

keluar ke desa - desa

mencatat sendiri semua gejala

dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku

pamplet masa darurat

apakah artinya kesenian

bila terpisah dari derita lingkungan

apakah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA( itb bandung - 19 agustus 1978 )

Perempuan yang Tergusur

Hujan lebat turun di hulu subuh

disertai angin gemuruh

yang menerbangkan mimpi

yang lalu tersangkut di ranting pohon

Aku terjaga dan termangu

menatap rak buku-buku

mendengar hujan menghajar dinding

rumah kayuku.

Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi

dan lalu terbayanglah wajahmu,

wahai perempupan yang tergusur!

Tanpa pilihan

ibumu mati ketika kamu bayi

dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.

Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.

Umur enam belas kamu dibawa ke kota

oleh sopir taxi yang mengawinimu.

Karena suka berjudi

ia menambah penghasilan sebagai germo.

Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.

Bila kamu ragu dan murung,

lalu kurang setoran kamu berikan,

ia memukul kamu babak belur.

Tapi kemudian ia mati ditembak tentara

ketika ikut demontrasi politik

sebagai demonstran bayaran.

Sebagai janda yang pelacur

kamu tinggal di gubuk tepi kali

dibatas kota

Gubernur dan para anggota DPRD

menggolongkanmu sebagai tikus got

yang mengganggu peradaban.

Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.

Jadi kamu digusur.

Didalam hujuan lebat pagi ini

apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan

sambhil memeluk kantong plastik

yang berisi sisa hartamu?

Ataukah berteduh di bawah jembatan?

Impian dan usaha

bagai tata rias yang luntur oleh hujan

mengotori wajahmu.

kamu tidak merdeka.

Kamu adalah korban tenung keadaan.

Keadilan terletak diseberang highway yang bebahaya

yang tak mungkin kamu seberangi.

Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.

Tetapi aku memihak kepadamu.

Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingin

di jidatmu?

O,cendawan peradaban!

O, teka-teki keadilan!

Waktu berjalan satu arah saja.

Tetapi ia bukan garis lurus.

Ia penuh kelokan yang mengejutkan,

gunung dan jurang yang mengecilkan hati,

Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya

puncak penderitaan yang menyakitkan hati,

atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,

selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,

ialah kedudukan kaum terhina.

Tapi aku kagum pada daya tahanmu,

pada caramu menikmati setiap kesempatan,

pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,

pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,

dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.

Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana

semak yang berduri bisa juga berbunga.

Menyaksikan kamu tertawa

karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,

diam-diam aku memuja kamu di hati ini.

Tidak ada komentar: